Keduabelas, apabila anak berbuat dan berperilaku baik tidak diberi hadiah. Dalam mendidik anak kita mengenal hukuman (punishment) dan hadiah (reward), kalau salah kita berikan sanksi, begitu juga dalam berperilaku baik, hendaknya orang tua memberikan apresiasi dalam bentuk pujian ataupun hadiah berupa ciuman dan pelukan. Sebab, hadiah tidak selalu berbentuk materi, uang, atau barang.
Dengan demikian, mereka akan merasa dihargai. Sekecil apa pun pujian kita, akan memberikan dorongan yang luar biasa kepada anak. Orang tua yang pelit memberikan pujian kepada anak akan menghasilkan anak yang gampang putus asa dan membuatnya enggan berbuat dan berperilaku baik, karena ia beranggapan semua itu sia-sia.
Ketigabelas, anak terlalu banyak dilarang. Memang sebagai orangtua kita merasa cemas akan keselamatan anak-anak. Dan terkadang ini membuat kita menjadi overprotektif. ”Jangan, Nak..nanti jatuh, jangan, Nak..nanti sakit..!” Padahal semua itu belum tentu. Anak yang terlalu banyak dilarang akan menjadi anak yang penakut dan tidak berani bereksplorasi, ia merasa semua yang ada di sekitarnya merupakan ancaman. Eksplorasi sangat dibutuhkan anak dalam perkembangan rnotoriknya. Biarkan anak melakukan eksplorasinya, tugas kita hanyalah mengawasi dan mengarahkan mereka.
Keempatbelas, anak terlalu banyak dituntut. Orang tua yang perfeksionis biasanya selalu menginginkan anaknya selalu bisa dan mampu seperti apa yang mereka harapkan. Sikap tersebut mengakibatkan anak tertekan dan tidak berkembang sebagaimana mestinya. Dan suatu saat anak bisa menjadi sangat anti terhadap apa yang terlalu kita tuntutkan padanya.
Kelimabelas, anak tidak diberi contoh yang baik. Terkadang kita tidak menyadari bahwa kita juga melakukan kesalahan. Kita melarang anak agar jangan membuang sampah sembarangan, sementara tanpa disadari, kita sendiri melakukannya. Anak merupakan cerminan dari diri kita. Maka dari itu sebagai orang tua berperilakulah yang baik, karena secara tidak langung kita telah mendidik anak kita sendiri. Di sinilah begitu pentingnya keteladanan kita pada buah hati kita.
Keenambelas, melakukan kekerasan fisik terhadap anak ataupun terhadap orang lain di hadapan anak. Kekerasan merupakan momok yang sangat tidak baik bagi perkembangan jiwa anak. Anak yang dibesarkan dengan kekerasan akan membawa kebiasaan kekerasannya itu hingga ia dewasa kelak. Mereka akan menjadi pribadi yang tidak percaya diri. Sebenarnya tidak hanya kekerasan fisik saja yang ”haram”disaksikan anak, menyakiti hati orang lain dengan ucapan yang kasar dan keras juga berbahaya apabila disaksikan oleh anak. Untuk itu, sebisa mungkin hindarilah melakukannya di hadapan anak.
Ketujuhbelas, kasih sayang dan perhatian yang diberikan kepada anak tidak cukup. Sesibuk apa pun orang tua seyogyanya harus tetap memberikan kasih sayang dan perhatian dengan porsi yang cukup, tidak kekurangan dan tidak berlebihan. Anak yang kelebihan perhatian dan kasih sayang akan menjadi anak yang manja, kurang berempati, suka pamer, mudah putus asa, dan kurang menghargai apa pun yang menjadi miliknya.
Begitu juga sebaliknya. Anak yang kekurangan perhatian dan kasih sayang akan menjadi anak yang tidak percaya diri, suka berperilaku buruk untuk mencari perhatian, bersikap tak acuh, tidak disiplin, agresif, dan kasar. Bahkan anak merasa dianaktirikan oleh orang tuanya sendiri. Akibatnya dia akan mencari kasih sayang di tempat lain atau temannya dengan melakukan perilaku yang menyimpang.
Kedelapanbelas, tidak ada kekompakan orang tua dalam mendidik anak. Ayah dan ibu harus mempunyai kesepakatan bersama dalam mendidik anak, sehingga tidak ada perbedaan. Perbedaan dalam mendidik anak akan membuat anak bingung dan tidak tahu mana yang benar dan mana salah. Semestinya tidak hanya kedua orang tua yang kompak, akan tetapi semua anggota keluarga yang ikut ”mendidik” secara langsung pada anak, seperti saudaranya, kakek nenek, paman bibi, dan keluarga dekatnya.
Kita sebagai orang tua di rumah sudah kompak dalam mendidik anak, akan tetapi begitu anak liburan di rumah kakeknya selama seminggu maka anak berubah lagi. Itu dikarenakan pola asuh yang diterapkan kakek dan neneknya jauh berbeda dengan kita. Kakeknya sangat memanjakannya dan perlakuan ini membuat anak lebih memilih kakeknya daripada orang tuanya.
Kesembilanbelas, sering menilai buruk dan menjelekjelekkan anak. Terkadang tanpa disadari kita telah memberikan nilai buruk kepada anak kita. Sebagai contoh, jika anak suatu kali lupa membereskan mainannya setelah bermain, padahal biasanya selalu membereskan, kita langsung marah dan mengatakan, ”Kamu ini memang anak pemalas, tidak pernah mau merapikan mainannya sendiri.” Dengan kata-kata seperti itu, anak merasa tidak dihargai, karena yang kemarin dianggap tidak pernah dilakukan. Menjelek-jelekkan anak di depan orang lain walaupun dengan maksud bercanda juga sangat tidak baik bagi perkembangan anak. Anak akan tumbuh menjadi pribadi yang rendah diri dan merasa tidak dihargai.
Keduapuluh, mementingkan pendidikan umum, mengesampingkan pendidikan agama. Ketika anak mulai sekolah, atau bahkan sebelum sekolah, kita kalang kabut kalau anak belum bisa membaca, menulis, dan menghitung. Kita carikan les privat agar anak dapat membaca, menulis, dan menghitung. Akan tetapi kalau anak tidak dapat membaca huruf Al-Qur’an, misalnya, kita santai-santai saja. ”Ah, nanti juga bisa sendiri.” Setelah sekolah, apabila nilai pelajaran umumnya jelek maka kita memarahi anak. Akan tetapi, ketika nilai agamanya tidak baik, tak pernah kita ributkan.
Padahal, kecerdasan dalam bidang agama atau spiritual sangat penting bagi kehidupan anak kelak. Kita masih ingat, kesuksesan seseorang 80 persennya ditopang oleh kecerdasan emosional (EQ) dan spiritualnya (SQ), bukan kecerdasan intelektualnya (IQ).
Dari keduapuluh kesalahan yang sering dilakukan orang tua tersebut, mungkin kita juga tidak menyadari bila telah melakukannya. Untuk itu, marilah berusaha untuk terus menerus mencari ilmu, terutama berkaitan dengan pendidikan anak (parenting), agar kita terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam mendidik anak, yang bisa menjadi fatal akibatnya bagi masa depan mereka. Usaha yang kita lakukan dapat berjalan optimal apabila ditopang dengan berdoa memohon kepada Yang Mahakuasa, semoga anak kita menjadi qurrota a’yun di tengah-tengah keluarga.
Pada umumnya, kesalahan terbesar orang tua dalam mendidik anak adalah kesalahan dalam berkomunikasi dengan anak. Komunikasi yang salah meliputi, memerintah, menyalahkan, meremehkan, membandingkan, memberi cap, mengancam, menasihati, membohongi, menghibur, mengkritik, menyindir, dan menganalisis.
Dari berbagai kesalahan mendidik tersebut, kesalahan mendidik anak yang dilakukan orang tua dapat ditarik benang merah meliputi: membiarkan anak melakukan kesalahan/berperilaku buruk, tidak memberikan apresiasi ketika anak berbuat dan berperilaku baik, terlalu banyak melarang anak, terlalu banyak menuntut anak, selalu membantu dan menuruti semua keinginan anak, tidak memberikan contoh yang baik kepada anak, melakukan kekerasan fisik terhadap anak maupun di hadapan anak, tidak memberikan kasih sayang dan perhatian yang cukup, tidak ada kekompakan antara ayah dan ibu dalam mendidik anak, dan selalu menilai buruk dan menjelek-jelekkan anak.
Daftar Pustaka
Sarwono, Sarlito Wirawan, 2020, Pengantar Umum Psikologi, Jakarta, Bulan Bintang.
Mustofa, Bisri, 2017, Mendidik Generasi Berkualitas, Jakarta, Trans Media Abadi.